KATA PENGANTAR
Salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur atas Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkatnya saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tugas ini saya kerjakan dengan sungguh-sungguh yaitu mengenai “Konflik Agama di Poso”. Menurut saya konflik agama di Poso sangat bagus untuk dijadikan tema dari tugas yang saya kerjakan. Apabila tugas ini banyak kesalahan mohon dimaafkan. Sekian terima kasih.
Bekasi, 27 Februari 2011
KONFLIK POSO DAN RESOLUSINYA
Oleh: Eddy MT Sianturi S.Si, Puslitbang Strahan Balitbang Dephan
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Masyarakat Poso mempunyai latar belakang sejarah dan peradaban yang panjang di masa lampau yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat) yang bertahan hingga meledaknya konflik sosial pada akhir 1998 yang terus berlanjut sampai dengan sekarang.
Konflik Poso menurut sebagian besar pengamat merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar, baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan. Konflik tersebut berlangsung sejak tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid.
Konflik Poso yang muncul di permukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintah-an daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintahan di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada NKRI juga menggeser kepemimpinan dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Pergeseran ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya, karena ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang berge-sernya pusat-pusat perekonomian dan perdagangan mendekati pusat-pusat pemerintahan. Singkatnya terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru, yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Sementara itu, kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Pandatang umumnya lebih kuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu bertahan di daerah baru. Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang.
Sementara menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional.
Permasalahan
Dari latar belakang konflik sosial yang terjadi di Poso seperti tergambar di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
§ Apakah Konflik Poso benar-benar disebabkan oleh kecemburuan dan kesenjangan sosial penduduk asli terhadap penduduk pendatang ?
§ Apakah marjinalisasi politik telah menyebabkan konflik Poso sulit diselesaikan ?
§ Apakah isu sentimen agama yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang berkonflik menggambarkan banyak pihak yang berkepentingan dan men-coba mengambil keuntungan dari situasi konflik ?
Kecenderungan Meningkatnya Konflik Komunal di Era Reformasi.
Sesungguhnya Nusantara ini tidak pernah sepi dari konflik komunal sejak tahun 1950-am. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi di masa Soekarno, Soeharto sampai sekarang. Konflik antar suku di Kalimantan telah mulai terjadi sejak tahun 1950-an dengan puncaknya pada konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah adalah yang ke-16 kalinya. Masih di masa Orde Baru, terjadi berbagai pertikaian bernuansa agama di Jawa seperti di Situbondo, Tasikmalaya dan Pekalongan. Konflik antar umat beragama juga terjadi secara terbatas di Halmahera Utara. Sedangkan di Poso sendiri, ada dua gejolak antar umat beragama masing-masing pada tahun 1992 dan 1995.
Setiap konflik komunal pada masa Orde Baru relatif dapat diredam. Keberhasilan menumpas setiap konflik SARA di masa Orde Baru merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” (general security and order) bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh bagian Nusantara. Upaya ini dilakukan dengan (a) mengoperasikan seperangkat lembaga-lembaga hegemonik-ideologis; (b) menciptakan suatu mesin politik raksasa yang bernama Golkar dengan berbagai organisasi massa turunannya serta dengan (c) menggerakkan serangkaian mesin penundukan dengan kekerasan. Strategi utama yang diterapkan adalah strategi umum yang lumrah dipakai oleh rezim otoriter “bagi-bagi berkah dan gebuk” (stick and carrot strategy).
Pada era reformasi yang mulai bergulir sejak 1998 konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama meningkat. Hal ini lebih disebabkan akumulasi ketidak-adilan dalam proses politik dan distribusi kekuasaan serta ketidakadilan dalam menikmati hasil pembangunan. Rakyat (khususnya di daerah) relatif lebih gampang terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar dan menjadi anarkis, apalagi isu yang dihembuskan sengaja bernuansa etnis dan agama. Dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering. Hal ini disimpulkan bahwa keragaman suku di kawasan Indonesia Timur (547 suku) lebih tinggi dari Indonesia Barat (109 suku).
Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan sintuwu maroso. Kalaupun konflik pernah terjadi, bentuk maupun besaran konflik itu tak pernah mengusung nama suku, apalagi agama.
Piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan/ tingkat yang paling dasar terdapat dua transformasi utama yang telah merubah wilayah Poso secara fundamental. Transformasi mendasar inilah sebenarnya yang merupakan akar dari permasalahan konflik Poso. Pada lapisan/tingkat berikutnya beroperasi sejumlah faktor-faktor etnis dan agama yang saling terkait dengan faktor-faktor politik. Dan terakhir, pada lapisan/tingkat teratas ditemukan faktor-faktor pemicu (provokator) serta stereotip-stereotip labelling psikologi sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangnya kekerasan yang semakin bengis.
Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.
Kedua, transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.
Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadap-hadapan secara diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud powersharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.
Pada lapisan puncak hanya faktor pemicu bukan akar permasalahan. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah piha hanyalah pemicu yang memancing magma struktural bergerak ke permukaan. Apalagi ditambah dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru yang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan maka roda-roda spiral kekerasanpun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal ini kemudian berulangkali disulut oleh para provokator. Akibatnya, kekerasan menjadi semakin bengis, keji dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid.
Untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di Poso, telah diupayakan beberapa forum dan pertemuan baik oleh masyarakat dan pemerintah lokal maupun pemerintah pusat sebelum terwujudnya deklarasi Malino. Beberapa sebab yang menggagalkan upaya perdamaian pra Malino ini antara lain; pertama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersikap setengah hati untuk menghentikan konflik ini. Setengah hatinya pemerintah dikarenakan oleh enam sebab yaitu : (1) elit nasional sedang sibuk sendiri dengan pertarungan politik di Jakarta; (2) pemerintahan Habibie maupun Abdurrachman Wahid tidak punya genggaman yang kuat atas aparat keamanan dan hukum; (3) militer masih belum merasa aman dan nyaman dalam proses reformasi yang sedang bergulir; (4) disiplin yang sangat rendah di kalangan aparat keamanan dan korupsi yang merajalela di kalangan aparat hukum; (5) faksi tertentu dalam aparat keamanan dan pemerintah daerah mengeruk keuntungan finansial dari konflik komunal yang berkepanjangan dan (6) masih terus bergiatnya para provokator sipil maupun militer.
Kemudian, proses upaya perdamaian sebelumnya tidak melibatkan para komandan lapangan dari kedua pihak yang bertikai. Upaya perdamaian pra-Malino bersifat elitis dan seremonial–manipulasi beberapa jargon budaya lokal secara artifisial. Proporsi pemimpin yang menginginkan perdamaian masih jauh lebih kecil dari proporsi mereka yang terus ingin berperang, karena mengeruk keuntungan, termasuk keun-tungan finansial.
Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal dengan “Deklarasi Malino untuk Poso” di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20 Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso. Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini.
Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui Menko Polkam dan Menko Kesra. Posisi sosial dan politik dari Menko Kesra Jusuf Kalla sebagai motor utama pemerintah pusat dalam proses Malino. Patut diingat bahwa konflik Poso meledak akibat ulah dari elit politik lokal, khususnya elit politik Golkar setempat dalam kasus pemilihan Bupati Poso yang baru. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh seorang Jusuf Kalla sebagai seorang ketua DPP Golkar, politisi dan pebisnis yang berpengalaman asal Bugis yang memiliki jaringan yang luas di Sulawesi, memiliki tutur kata dengan bahasa yang sederhana menjadi suatu nilai tambah bagi keberhasilan proses perdamaian Malino. Terwujudnya perjanjian damai Malino inilebih kepada kuatnya keinginan kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik kekerasan di Poso, pemerintah hanya memfasilitasi perundingan damai tersebut.
Esensi penting dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang hak hidup di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
Keberhasilan perjanjian damai di Malino disambut baik oleh semua pihak. Dalam mengimplementasikan butir-butir kesepakatan deklarasi Malino, pemimpin kedua belah pihak bersama dengan pemerintah dan seluruh organisasi masyarakat adat setempat sepakat untuk bekerjasama melakukan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat Poso. Upaya pemulihan pasca deklarasi Malino telah dilakukan dan secara berangsur-angsur para pengungsi telah kembali ke desanya, kehidupan masyarakat setempat sudah kembali normal dan persaudaraan diantara kedua kelompok masyarakat yang sempat bertikai kembali harmonis, pemerintah pusat dan daerah telah membangun kembali sarana dan prasarana publik yang sempat dirusak dan kehidupan perekonomian serta pemerintahan kembali normal. Pihak Polri dan TNI terus berupaya memulihkan kondisi keamanan dan melakukan penegakan hukum. Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada masyarakat dengan sifat dasar yang berbeda. Di satu pihak pendekatan budaya tampaknya cukup efektif. Dalam pemahaman seperti ini, dapat dimengerti mengapa kerukunan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Poso dapat berproses lebih cepat dibandingkan dengan proses kerukunan masyarakat di kecamatan-kecamatan lainnya.
Langkah awal pemerintah dalam rangka penanganan pengungsi Poso pasca deklarasi Malino antara lain: a) Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai pihak baik yang tertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif; b) Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh; c) Implementasi pelaksanaan deklarasi Malino yang meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana umum serta rehabilitasi perumahan.
Kondisi yang semakin kondusif di masyarakat Poso ternyata membuat gerah para provokator dengan melakukan beberapa aksi teror bom untuk memancing dan memprovokasi masyarakat. Selama periode 2002-2005 tercatat ada sepuluh kali teror bom terjadi dengan menelan puluhan korban jiwa. Sangat jelas bahwa sejak awal banyak pihak yang “bermain” dalam konflik Poso, yang tujuannya hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.Untungnya, masyarakat Poso lebih bijak menyikapi kejadian ini, dimana mereka semakin sadar bahwa semua aksi-aksi tersebut hanya ditujukan untuk menghan-curkan kembali persaudaraan diantara masyarakat Poso.
Kejadian teror bom terakhir terajadi pada Sabtu pagi, 28 Mei 2005 dua buah bom berkekuatan ledak besar mengguncang pasar Tentena, Kabupaten Poso yang menewaskan 20 orang dan 53 orang terluka (akhirnya junlah korban tewas bertambah menjadi 21 orang setelah 1 orang korban yang sempat dirawat di RS meninggal sehari kemudian). Pihak Polri mengklaim bahwa pelaku aksi tersebut adalah pemain lama, sedangkan Wapres, Jusuf Kalla menuding pelakunya adalah kelompok-kelompok teroris yang sama yang memicu kerusuhan di Ambon dan Mamasa.
Berdasarkan rincian pada pem-bahasan di atas, sangat jelas bahwa banyak pihak yang berkepentingan untuk memunculkan konflik di Poso. Akar permasalahan konflik Poso hanyalah masalah kesenjangan sosial yang semakin melebar dan ketidakadilan terutama terkait dengan marjinalisasi politik antara penduduk asli dengan pendatang. Isu etnis dan agama sengaja dihembuskan oleh provokator, karena memang kedua isu ini masih sangat sensitif dan mengundang emosi ditambah lagi tingkat intelektualitas kebanyakan masyarakat di Poso masih relatif rendah sehingga masih sangat rawan untuk terprovokasi berbagai isu. Di pihak lain, pemerintah setempat tidak tanggap dan tidak aspiratif terhadap kondisi riil masyarakat dan pergesekan-pergesekan sosial yang kebanyakan memang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang tepat/sesuai dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Elit-elit di daerah yang notabene adalah wakil rakyat dan pemegang mandat rakyat hanya berpikir bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, bukan untuk apa dan untuk siapa dia berkuasa.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus Poso ini, karena kecenderungan yang tampak saat ini adalah meningkatnya konflik dan potensi konflik komunal di banyak daerah, etno-nasionalisme bangkit dan mengalahkan persatuan dan kesatuan bangsa, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA) tahun 2005 ini. Isu putra daerah dijadikan jargon politik tanpa mau memperhatikan soal kompetensi dan kapabilitas. Apalagi soal wawasan pengetahuan, Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Padahal yang dibutuhkan Indonesia untuk maju termasuk Poso saat ini adalah orang-orang terbaiklah yang dipercaya menjadi pemimpin. Mereka yang mempunyai kemampuan dan juga komitmen untuk memajukan daerah dan juga masyarakat di daerah itu. Tak peduli dari mana asalnya, sepanjang dia orang Indonesia dan mempunyai konsep pembangunan daerah yang jelas, maka dialah yang seharusnya diberi kepercayaan untuk memimpin daerah tersebut.
Sekarang ini kita memang menjadi bangsa yang kehilangan nilai. Orientasi kekuasaan yang dikejar-kejar itu bukanlah untuk pengabdian, tetapi sekedar sebagai simbol sosial dan kepentingan ekonomi. Kekuasaan masih sebatas dipahami sebagai sebuah privilese, sebuah keistimewaan. Padahal sebenarnya kekuasaan adalah sebuah kehormatan dan kehormatan itu memikul sebuah tanggung jawab.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang.
b. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis.
c. Pendekatan budaya merupakan pendekatan terbaik dan efektif dalam menghentikan konflik sosial di Poso. Filisopi hidup masyarakat Poso, sintuwu maroso terbukti efektif mengembalikan harmonisasi kehidupan masyarakat Poso.
Konflik Poso menurut sebagian besar pengamat merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar, baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan. Konflik tersebut berlangsung sejak tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid.
Konflik Poso yang muncul di permukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintah-an daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintahan di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada NKRI juga menggeser kepemimpinan dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Pergeseran ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya, karena ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang berge-sernya pusat-pusat perekonomian dan perdagangan mendekati pusat-pusat pemerintahan. Singkatnya terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru, yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Sementara itu, kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Pandatang umumnya lebih kuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu bertahan di daerah baru. Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang.
Sementara menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional.
Permasalahan
Dari latar belakang konflik sosial yang terjadi di Poso seperti tergambar di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
§ Apakah Konflik Poso benar-benar disebabkan oleh kecemburuan dan kesenjangan sosial penduduk asli terhadap penduduk pendatang ?
§ Apakah marjinalisasi politik telah menyebabkan konflik Poso sulit diselesaikan ?
§ Apakah isu sentimen agama yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang berkonflik menggambarkan banyak pihak yang berkepentingan dan men-coba mengambil keuntungan dari situasi konflik ?
Kecenderungan Meningkatnya Konflik Komunal di Era Reformasi.
Sesungguhnya Nusantara ini tidak pernah sepi dari konflik komunal sejak tahun 1950-am. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi di masa Soekarno, Soeharto sampai sekarang. Konflik antar suku di Kalimantan telah mulai terjadi sejak tahun 1950-an dengan puncaknya pada konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah adalah yang ke-16 kalinya. Masih di masa Orde Baru, terjadi berbagai pertikaian bernuansa agama di Jawa seperti di Situbondo, Tasikmalaya dan Pekalongan. Konflik antar umat beragama juga terjadi secara terbatas di Halmahera Utara. Sedangkan di Poso sendiri, ada dua gejolak antar umat beragama masing-masing pada tahun 1992 dan 1995.
Setiap konflik komunal pada masa Orde Baru relatif dapat diredam. Keberhasilan menumpas setiap konflik SARA di masa Orde Baru merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” (general security and order) bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh bagian Nusantara. Upaya ini dilakukan dengan (a) mengoperasikan seperangkat lembaga-lembaga hegemonik-ideologis; (b) menciptakan suatu mesin politik raksasa yang bernama Golkar dengan berbagai organisasi massa turunannya serta dengan (c) menggerakkan serangkaian mesin penundukan dengan kekerasan. Strategi utama yang diterapkan adalah strategi umum yang lumrah dipakai oleh rezim otoriter “bagi-bagi berkah dan gebuk” (stick and carrot strategy).
Pada era reformasi yang mulai bergulir sejak 1998 konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama meningkat. Hal ini lebih disebabkan akumulasi ketidak-adilan dalam proses politik dan distribusi kekuasaan serta ketidakadilan dalam menikmati hasil pembangunan. Rakyat (khususnya di daerah) relatif lebih gampang terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar dan menjadi anarkis, apalagi isu yang dihembuskan sengaja bernuansa etnis dan agama. Dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering. Hal ini disimpulkan bahwa keragaman suku di kawasan Indonesia Timur (547 suku) lebih tinggi dari Indonesia Barat (109 suku).
Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan sintuwu maroso. Kalaupun konflik pernah terjadi, bentuk maupun besaran konflik itu tak pernah mengusung nama suku, apalagi agama.
Piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan/ tingkat yang paling dasar terdapat dua transformasi utama yang telah merubah wilayah Poso secara fundamental. Transformasi mendasar inilah sebenarnya yang merupakan akar dari permasalahan konflik Poso. Pada lapisan/tingkat berikutnya beroperasi sejumlah faktor-faktor etnis dan agama yang saling terkait dengan faktor-faktor politik. Dan terakhir, pada lapisan/tingkat teratas ditemukan faktor-faktor pemicu (provokator) serta stereotip-stereotip labelling psikologi sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangnya kekerasan yang semakin bengis.
Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.
Kedua, transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.
Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadap-hadapan secara diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud powersharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.
Pada lapisan puncak hanya faktor pemicu bukan akar permasalahan. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah piha hanyalah pemicu yang memancing magma struktural bergerak ke permukaan. Apalagi ditambah dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru yang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan maka roda-roda spiral kekerasanpun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal ini kemudian berulangkali disulut oleh para provokator. Akibatnya, kekerasan menjadi semakin bengis, keji dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid.
Untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di Poso, telah diupayakan beberapa forum dan pertemuan baik oleh masyarakat dan pemerintah lokal maupun pemerintah pusat sebelum terwujudnya deklarasi Malino. Beberapa sebab yang menggagalkan upaya perdamaian pra Malino ini antara lain; pertama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersikap setengah hati untuk menghentikan konflik ini. Setengah hatinya pemerintah dikarenakan oleh enam sebab yaitu : (1) elit nasional sedang sibuk sendiri dengan pertarungan politik di Jakarta; (2) pemerintahan Habibie maupun Abdurrachman Wahid tidak punya genggaman yang kuat atas aparat keamanan dan hukum; (3) militer masih belum merasa aman dan nyaman dalam proses reformasi yang sedang bergulir; (4) disiplin yang sangat rendah di kalangan aparat keamanan dan korupsi yang merajalela di kalangan aparat hukum; (5) faksi tertentu dalam aparat keamanan dan pemerintah daerah mengeruk keuntungan finansial dari konflik komunal yang berkepanjangan dan (6) masih terus bergiatnya para provokator sipil maupun militer.
Kemudian, proses upaya perdamaian sebelumnya tidak melibatkan para komandan lapangan dari kedua pihak yang bertikai. Upaya perdamaian pra-Malino bersifat elitis dan seremonial–manipulasi beberapa jargon budaya lokal secara artifisial. Proporsi pemimpin yang menginginkan perdamaian masih jauh lebih kecil dari proporsi mereka yang terus ingin berperang, karena mengeruk keuntungan, termasuk keun-tungan finansial.
Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal dengan “Deklarasi Malino untuk Poso” di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20 Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso. Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini.
Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui Menko Polkam dan Menko Kesra. Posisi sosial dan politik dari Menko Kesra Jusuf Kalla sebagai motor utama pemerintah pusat dalam proses Malino. Patut diingat bahwa konflik Poso meledak akibat ulah dari elit politik lokal, khususnya elit politik Golkar setempat dalam kasus pemilihan Bupati Poso yang baru. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh seorang Jusuf Kalla sebagai seorang ketua DPP Golkar, politisi dan pebisnis yang berpengalaman asal Bugis yang memiliki jaringan yang luas di Sulawesi, memiliki tutur kata dengan bahasa yang sederhana menjadi suatu nilai tambah bagi keberhasilan proses perdamaian Malino. Terwujudnya perjanjian damai Malino inilebih kepada kuatnya keinginan kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik kekerasan di Poso, pemerintah hanya memfasilitasi perundingan damai tersebut.
Esensi penting dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang hak hidup di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
Keberhasilan perjanjian damai di Malino disambut baik oleh semua pihak. Dalam mengimplementasikan butir-butir kesepakatan deklarasi Malino, pemimpin kedua belah pihak bersama dengan pemerintah dan seluruh organisasi masyarakat adat setempat sepakat untuk bekerjasama melakukan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat Poso. Upaya pemulihan pasca deklarasi Malino telah dilakukan dan secara berangsur-angsur para pengungsi telah kembali ke desanya, kehidupan masyarakat setempat sudah kembali normal dan persaudaraan diantara kedua kelompok masyarakat yang sempat bertikai kembali harmonis, pemerintah pusat dan daerah telah membangun kembali sarana dan prasarana publik yang sempat dirusak dan kehidupan perekonomian serta pemerintahan kembali normal. Pihak Polri dan TNI terus berupaya memulihkan kondisi keamanan dan melakukan penegakan hukum. Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada masyarakat dengan sifat dasar yang berbeda. Di satu pihak pendekatan budaya tampaknya cukup efektif. Dalam pemahaman seperti ini, dapat dimengerti mengapa kerukunan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Poso dapat berproses lebih cepat dibandingkan dengan proses kerukunan masyarakat di kecamatan-kecamatan lainnya.
Langkah awal pemerintah dalam rangka penanganan pengungsi Poso pasca deklarasi Malino antara lain: a) Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai pihak baik yang tertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif; b) Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh; c) Implementasi pelaksanaan deklarasi Malino yang meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana umum serta rehabilitasi perumahan.
Kondisi yang semakin kondusif di masyarakat Poso ternyata membuat gerah para provokator dengan melakukan beberapa aksi teror bom untuk memancing dan memprovokasi masyarakat. Selama periode 2002-2005 tercatat ada sepuluh kali teror bom terjadi dengan menelan puluhan korban jiwa. Sangat jelas bahwa sejak awal banyak pihak yang “bermain” dalam konflik Poso, yang tujuannya hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.Untungnya, masyarakat Poso lebih bijak menyikapi kejadian ini, dimana mereka semakin sadar bahwa semua aksi-aksi tersebut hanya ditujukan untuk menghan-curkan kembali persaudaraan diantara masyarakat Poso.
Kejadian teror bom terakhir terajadi pada Sabtu pagi, 28 Mei 2005 dua buah bom berkekuatan ledak besar mengguncang pasar Tentena, Kabupaten Poso yang menewaskan 20 orang dan 53 orang terluka (akhirnya junlah korban tewas bertambah menjadi 21 orang setelah 1 orang korban yang sempat dirawat di RS meninggal sehari kemudian). Pihak Polri mengklaim bahwa pelaku aksi tersebut adalah pemain lama, sedangkan Wapres, Jusuf Kalla menuding pelakunya adalah kelompok-kelompok teroris yang sama yang memicu kerusuhan di Ambon dan Mamasa.
Berdasarkan rincian pada pem-bahasan di atas, sangat jelas bahwa banyak pihak yang berkepentingan untuk memunculkan konflik di Poso. Akar permasalahan konflik Poso hanyalah masalah kesenjangan sosial yang semakin melebar dan ketidakadilan terutama terkait dengan marjinalisasi politik antara penduduk asli dengan pendatang. Isu etnis dan agama sengaja dihembuskan oleh provokator, karena memang kedua isu ini masih sangat sensitif dan mengundang emosi ditambah lagi tingkat intelektualitas kebanyakan masyarakat di Poso masih relatif rendah sehingga masih sangat rawan untuk terprovokasi berbagai isu. Di pihak lain, pemerintah setempat tidak tanggap dan tidak aspiratif terhadap kondisi riil masyarakat dan pergesekan-pergesekan sosial yang kebanyakan memang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang tepat/sesuai dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Elit-elit di daerah yang notabene adalah wakil rakyat dan pemegang mandat rakyat hanya berpikir bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, bukan untuk apa dan untuk siapa dia berkuasa.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus Poso ini, karena kecenderungan yang tampak saat ini adalah meningkatnya konflik dan potensi konflik komunal di banyak daerah, etno-nasionalisme bangkit dan mengalahkan persatuan dan kesatuan bangsa, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA) tahun 2005 ini. Isu putra daerah dijadikan jargon politik tanpa mau memperhatikan soal kompetensi dan kapabilitas. Apalagi soal wawasan pengetahuan, Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Padahal yang dibutuhkan Indonesia untuk maju termasuk Poso saat ini adalah orang-orang terbaiklah yang dipercaya menjadi pemimpin. Mereka yang mempunyai kemampuan dan juga komitmen untuk memajukan daerah dan juga masyarakat di daerah itu. Tak peduli dari mana asalnya, sepanjang dia orang Indonesia dan mempunyai konsep pembangunan daerah yang jelas, maka dialah yang seharusnya diberi kepercayaan untuk memimpin daerah tersebut.
Sekarang ini kita memang menjadi bangsa yang kehilangan nilai. Orientasi kekuasaan yang dikejar-kejar itu bukanlah untuk pengabdian, tetapi sekedar sebagai simbol sosial dan kepentingan ekonomi. Kekuasaan masih sebatas dipahami sebagai sebuah privilese, sebuah keistimewaan. Padahal sebenarnya kekuasaan adalah sebuah kehormatan dan kehormatan itu memikul sebuah tanggung jawab.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang.
b. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis.
c. Pendekatan budaya merupakan pendekatan terbaik dan efektif dalam menghentikan konflik sosial di Poso. Filisopi hidup masyarakat Poso, sintuwu maroso terbukti efektif mengembalikan harmonisasi kehidupan masyarakat Poso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar